MAKALAH
FILSAFAT OLAH RAGA
(DUALISME DALAM PENDIDIKAN)
OLEH KELOMPOK VII :
-
SYATRIA
-
GOVINDA NOZA PUTRA
-
M. SUKRON Al GHUFFRON
-
TIWI PUJI LESTARI
DOSEN PENGAMPU
ADE SAPUTRA,S.Pd.,M.Pd
PENDIDIKAN
OLAH RAGA DAN KESEHATAN
FAKULTAS
ILMU KEOLAH RAGAAN
UNIVERSITAS
JAMBI
2014/2015
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENAGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
BAB
I PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang........................................................................................ 1
1.2 Rumusan
Masalah................................................................................... 3
1.3 Tujuan..................................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN/ ISI
2.1
Pengertian Dualisme................................................................................. 4
2.2 Sejarah Dualisme...................................................................................... 5
2.2.1 Macam
Macam Dari Dualisme....................................................... 12
2.2.2 Faktor Penghambat Pembangunan Dualisme................................. 14
2.3 Dualisme
Pendidikan............................................................................... 16
2.4 Integrasi
Pendidikan................................................................................ 23
BAB
III KESIMPULAN DAN SARAN
3.1.Kesimpulan ............................................................................................. 25
3.2. Penutup................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 27
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur
kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul" DUALISME
DALAM PENDIDIKAN . makalah ini dibuat sebagai media untuk
menambah wawasan pengetahuan demi tercapainya tujuan pembelajaran.
Penyusunan makalah ini dimaksudkan
agar kedepannya kita tidak mengalami kesulitan dalam melakukan perkuliahan mata
kuliah karate . Oleh karena itu, penulis
berharap dengan adanya makalah ini, kita sebagai mahasiswa dapat
mengetahui kajian dualisme .
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menyadari bahwa
makalah yang penulis buat ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,
demi penyempurnaan makalah ini penulis mengharapkan saran dan kritik dari
berbagai pihak.
Akhir kata penulis ucapkan banyak terima kasih kepada bapak ADE SAPUTRA. S.Pd ,
M.Pd selaku dosen mata kuliah yang telah membimbing dan mengarahkan penulis,
serta rekan-rekan dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam
menyelesaikan makalah ini.
jambi , Desember 2014
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pendidikan
merupakan kunci untuk menapaki masa depan. Pendidikan menjadi penting artinya
karena melalui pendidikanlah yang menentukan arah kehidupan melalui proses
pembelajaran antar generasi. Melaui proses sosialisasi, enkulturasi di dalam
institusi primer yaitu dalam keluarga. Dari situlah proses pewarisan unsur
budaya dalam hal ini adalah pembelajaran dilakukan pertamakali. Di dalam
literature ilmu sosial disebutkan bahwa kebudayaan didefinisikan sebagai suatu
keseluruhan sistem ide, sistem sosial, dan hasil karya manusia dalam rangka
kehidupan masyarakat yang dimiliki manusia melalui proses belajar. Ini berarti
kunci pokok dari kehidupan manusia itu terletak dari adanya proses belajar.
Sedemikian
pentingnya pendidikan ini dalam hidup, maka pendidikan selalu menjadi ranah
selalu hangat untuk diperbincangkan.Hal yang menarik lagi dalam diskursus
mengenai tema besar ini adalah pijakan akar budaya dan historisitas dari
perkembangan pendidikan di Indonesia.Suatu kondisi yang tidak boleh tidak ada
seandainya kita mau meneliti tentang perkembangan pendidikan di negeri kita ini
adalah faktor kesejarahan.Bagaimanapun juga sejarah warisan kolonial Belanda
turut membentuk wajah pendidikan Indonesia. Kalau kita perhatikan, dari jaman
kolonial sampai sekarang ada tendensi yang mengarah pada pola akibat bentukan
budaya yang mengakar kuat.Fenomena pembagian menjadi dua bagian antara negeri
dan swasta, umum dan agama, sentralistik dan desentralisasi, menejemen berbasis
sekolahan dan menejemen berbasis pusat, kurikulum berbasis kompetensi dan
kurikulum berbasis pengetahuan, kesemuanya itu lebih kita tempatkan sebagai
fakta sejarah.
Fonemena
dulaisme keilmuan yang sekarang melanda umat Islam itu relative baru (kira-kira
awal abad 19 M, ketika bangsa Islam mulai dijajah).Dulaisme lembaga pendidikan
sekarang ini ada yang disebut sekolah umum dan ada diistilahkan sekolah agama,
dimana terciptalah sarjana agama yang begitu pintar ilmu syariah, tapi tidak
tahu menahu-tahu tentang ilmu umum. Begitu sebaliknya seorang profesor kimia,
misalnya pintar sekali dibidangnya, tapi selalu mengatakan ,saya ini orang awam
untuk urusan agama. Adanya pendidikan agama di sekolah-sekolah di Indonesia
sudah tidak bisa dinafikan lagi, akan tetapi kenapa pada faktanya pendidikan di
Indonesia mengalami keterpurukan baik dari sisi output pendidikan yang masih
rendah bila dibandingkan negara-negara yang baru merdeka seperti Vietnam.
Begitupula tentang kenakalan remaja yang terjerumus ke dalam korban narkoba
semakin meningkat dari tahun ke tahun, serta tindakan korupsi yang sudah
mengakar di negeri ini. Kondisi ini tidak mungkin dibiarkan berlarut-larut
paling tidak ada peningkatan kualitas pendidikan dan penyelewengan pendidikan
dapat diminimalisir.
1.2 Rumusan Mashalah
Untuk
mengkaji dan mengulas tentang Filsafat olah Raga ( Dualisme ), maka diperlukan
subpokok bahasan yang saling berhubungan, sehingga penulis membuat rumusan
masalah sebagai berikut:
a.
Pengertian dari dualisme
Dualisme
b.
Mengkaji sejarah dualisme
c.
Mengkaji tentang dualisme
pendidikan
d.
Untuk mengetahui integrasi
pendidikan Agama Dan Umum
1.3
Tujuan
Adapun
tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu sebagai berikut.
1.
Untuk memenuhi tugas mata
kuliah Filsafat Olahraga.
2.
Untuk mengetahui pengertian
Dualisme.
3.
Untuk mengetahui darimana
sejarah dualisme itu
4.
Untuk mengetahui Dualisme
Pendidikan.
5.
Untuk mengetahui integrasi
pendidikan Agama Dan Umum
BAB
II
PEMBAHASAN/ISI
2.1
Pengertian Dualisme
Dualisme adalah konsep filsafat yang
menyatakan ada dua substansi. Dalam pandangan tentang hubungan antara jiwa dan
raga, dualisme mengklaim bahwa fenomena mental adalah entitas non-fisik.
Gagasan
tentang dualisme jiwa dan raga berasal setidaknya sejak zaman Plato dan Aristoteles dan berhubungan dengan spekulasi
tantang eksistensi jiwa yang terkait dengan kecerdasan dan kebijakan. Plato dan Aristoteles
berpendapat, dengan alasan berbeda, bahwa "kecerdasan" seseorang
(bagian dari budi atau jiwa) tidak bisa diidentifikasi atau dijelaskan dengan
fisik.
Versi
dari dualisme yang dikenal secara umum diterapkan oleh René Descartes (1641), yang berpendapat bahwa budi adalah substansi nonfisik. Descartes
adalah yang pertama kali mengidentifikasi dengan jelas budi dengan
kesadaran dan membedakannya dengan otak, sebagai tempat kecerdasan. Sehingga,
dia adalah yang pertama merumuskan permasalahan jiwa-raga dalam bentuknya yang
ada sekarang.[4] Dualisme bertentangan dengan berbagai jenis monisme, termasuk fisikalisme dan fenomenalisme. Substansi dualisme bertentangan
dengan semua jenis materialisme, tetapi dualisme properti dapat
dianggap sejenis materilasme emergent sehingga akan hanya bertentangan
dengan materialisme non-emergent.
Dualisme
adalah ajaran atau aliran/faham yang memandang alam ini terdiri atas dua macam
hakekat yaitu hakekat materi dan hakekat rohani. Kedua macam hakekat itu
masing-masing bebas berdiri sendiri, sama azazi dan abadi. Perhubungan antara
keduanya itu menciptakan kehidupan dalam alam Contoh yang paling jelas tentang
adanya kerja sama kedua hakekat ini adalah terdapat dalam diri manusia. Konsep
Dualisme
adalah Perbedaan antara bangsa kaya dan miskin, perbedaan antara berbagai
golongan masyarakat yang semakin meningkat. Pengertian dualisme itu sendiri
dapat diartikan sebagai adanya dua sistem yang sangat berbeda dan kedua-duanya
wujud secara berdampingan.
2.2 Sejarah Dualisme
Dua
dari pandangan kuno dari pertanyaan ini telah diubah sebagai filosofi
Pra-Socratic: “dualisme” muncul dalam ajaran Phitagorean tentang perpindahan
jiwa, dan “kebendaan” hadir seperti posisi falsafah sebagai “atomisme”
Democritus. Penganut paham Phytagoras berpegang pada itikad keagamaan bahwa,
jiwa, saat kematian, perpindahan jiwa semata dari jasad yangmereka tempati
menjadi tubuh yang lainnya (terkadangperpindahanterjadi tidak hanya dalam
spesies yang sama). In order to hold this, mereka harus membuat perbedaan yang
jelas antara dua hal, antara tubuh dan jiwa. Walaupun bagi penganut Phitagoras,
pengajaran individu adalah kombinasi dari tubuh dan jiwa, terdapat
keyakinan yang sangat penting bahwa pada pandangan ini telah ditegakkan.
Pertama, tubuh dan jiwa dapat dipisahkan. Bahkan, kematian didefinisikan oleh
para penganut Phitagoras adalah pemisahan jiwa dari tubuhnya (maka jiwanya kini
“bebas” dari tubuhnya, dan dapat berpindah pada yanglain). Yang kedua, memberi
pemisahan, orang yang “nyata” adalah bukan tubuhnya melainkan jiwanya, jiwanya
adalah dimensi utama dalam “personalitas” orang tersebut.
Plato
menghibur dan melewati posisi dualis dalam dialognya, The phaedo, yang
menghadirkan Socrates, di hari kematiannya, dia membujuk peserta yang hadir
(kebanyakan adalah penganur Phytagorea itu sendiri) bahwa dia tidak benar-benar
akan mati, kematian adalah peristiwa lepasnya jiwa dari tubuh dan
pembebasan jiwa dari tubuh kemudian akan menju ke dunia yang lebih “tinggi”.Ketika
komunitas Kristen berkembang, mereka merebut padangan dualisme diatas sebagai
dasar filsafat untuk titik berat setelah kehidupan mereka. Sejak pembuktian
bahwa tubuh tidak hidup setelah mati berlimpah, kepercayaan kehidupan setela
mati dapat bertumpu pada pendapat bahwa ada sesuatu yang lain pada orang
tersebut, jiwanya, yang telah lepas dari tubuhnya, tidak lagi membutuhkan
tubuhnya, karena itu jiwa akan tetap hidup setelah kematiannya. Ditambah lagi
keutamaan bahwa jiwa tersebut adalah “orang yang tepat”. Jauh lebih penting
dari tubuh dalam penentuan dirinya dan takdirnya.
Di
abad ke-17, Rene Descartes, yang akrab disapa “Bapak dari filsafat
modern”,kemungkinan menjadi sosok yang paling terkenal karena pernyataannya
tentang dualisme. Tanpa menuju ke arah yang lebih jelas kehausan dan argumen
penting, kita dapat menyatakan bahwa dasar Descartez sama saja dengan kedua
pernyataan utama yang memiliki karakter dualisme dari formula awal. Bahwa jiwa
atau pikiran adalah hal yang terpisah dan terbedakan dari tubuh (desebabkan
oleh “dualisme”) dan keduanya, salah saatu yang piling kita ketahui, yang
paling “berdiri sendiri”, adalah pikiran dan jiwa. Dengan demikian “Aku”
sebagai renungan yang paling terkenal, “Aku merasa karena itulah Aku”, adalah
sebuah “Aku” tang merupakan sebuah renungan. Sebuah “Keutamaan
berpikir”.Sebagai bagian dari pondasi metafisik dari satu tradisi utama
keagamaan kita, sebaik kemungkinannya pemahaman filsafah paling dominan tentang
orang seperti apakah yang berada di dunia Timur, dualisme adalah kenyataan dari
kepentingan yang sangat besar. Pebendaharaan kata kita dan bahkan cara kita
dalam mengorganisir sisitem pendidikan teredam dalam asumsi tersebut. “Sebuah
suara pikiran dan suara tubuh”, kita telah diberitahu selama berabad-abad.
Wanita
selalu dianggap sebagai objek perlakuan seksual.Kemudian mereka menuntut agar
mereka lebih dihargai terhadap pola pikir mereka, dan atlit terkemuka harus
melawan prasangka bahwa mereka hanya sebuah “Olokan”. Mengikuti rekomendasi
dari hampir seluruh dualisme yang telah dijelaskan sejauh ini. Kita
mengoraganisir sistem pendidikan kita dengan asumsibahwa kita seharusnya
melatih kedau pikiran tersebut (subjek “akademik’), dan tubuh (pendidikan fisik
dan aktivitas “ekstrakurikuler”), dengan anggapan yang jelas bahwa awal lebih
penting dari yang kedua. Pada pandangan dualis, kemudian, dan dengan
pengecualian dari diskusi Plato tentang pendidikan pada
“Republiknya”, olahraga, terpusat (meskipun telah terbukti tidak dengan
ekslusif), menyangkut tubuh, tidak dapat dihindarkan akan menjadi sebuah masa
lalu yang tidak berharga. Tidak diragukan seperti asumsi dualis misalnya, hal
tersebut terdengar seperti olahraga yang tidak berarti, bahwa di banyak
institut pendidikan sedikit (bahkan tidak) biaya dialokasikan untuk pendidikan
jasmani, dan olahraga tersebut dan pendidikan jasmani adalah sebagian dari
aktivitas awal yang menyita waktu dari sulitnya ekonomi dai sistem pendidikan.
kenyataannya adalah banyak olahraga berjalan di institusi pendidikan telah
diklasifikasikkan sebagai ekstrakurikuler (secara harfiah “diluar kurikulum).
Sejak
pikiran dan tubuh terpisahkan, dan sejak pikiran adalah jauh lebih utama dari
keduanya, inti dari pendidikan seaharusnya diperhatikan “ kehidupan pikiran”,
dan pelatihan tubuh agar menjadi indah akan dianggap sebagai pilihan bebas tiap
individu.Tetapi terdapat masalah tentang pendirian dualisme yang telah
dirangkum sejak diformulasikan. Kemungkinan sebagian besar penyebab masalah
tersebut adalah bagaimana kedua hal ini terpisah, pikiran atau jiwa dan tubuh,
ketidak pentingan yang lain, dapat beinteraksi dengan orang lain. Pikiranku
menentukan untuk menulis kalimat ini dan jari-jariku patuh. Atau aku berusaha
menunjukan sebuah manuver fisikal yan sulit, perkataan, menyelami kesulitan, dan
mendapat bimbingan psikologi terhadap kegagalan yang menyebabkan frustasi.
Mungkin aku akan berathan dari “penyakit sikosomatik”. Di kedua hal positif dan
negatif, interaksi tubuh dan pikirandi banyak cara yang tidakbaik sulit untuk
dijelasakan dalam asumsi bahwa tubuh dan pikiran atau jiwa yng melakukan
interaksi. (bahkan, sangat tidak
berarti bahwa pernyataan “ interaksi pikiran dan tubuh” telah teramasuk pada asumsi dualisme). Descartes, untuk mengambil kemungkinancontoh
yang paling terkenal.
DUALISME Dua
dari pandangan kuno daripertanyaan ini telah diubah sebagai filosofi
Pra- Socratic: “dualisme” muncul dalam ajaran Phitagorean tentang
perpindahan jiwa, dan “kebendaan” hadir seperti posisi falsafah
sebagai “atomisme” Democritus. Penganut paham Phytagoras berpegang
pada itikad keagamaan bahwa, jiwa, saat kematian, perpindahan jiwa semata
dari jasad yang mereka tempati menjadi tubuh yang lainnya
(terkadang perpindahan terjadi tidak hanya dalam spesies yang sama).
In order to hold this, mereka harus membuat perbedaan yang jelas antara dua
hal, antara tubuh dan jiwa. Walaupun bagi penganut Phitagoras, pengajaran
individu adalah kombinasi dari tubuh dan jiwa, terdapat keyakinanyang sangat
penting bahwa pada pandangan ini telah ditegakkan. Pertama, tubuh dan jiwa
dapat dipisahkan. Bahkan, kematian didefinisikan oleh para penganut Phitagoras
adalah pemisahan jiwa dari tubuhnya (maka jiwanya kini “bebas” dari
tubuhnya, dan dapat berpindah pada yang lain). Yang kedua, memberi pemisahan,
orang yang “nyata” adalah bukan tubuhnya melainkan jiwanya, jiwanya adalah
dimensi utama dalam “personalitas” orang tersebut.Plato menghibur dan melewati
posisidualis dalam dialognya, The phaedo, yang menghadirkan S ocrates, di
hari kematiannya, dia membujuk peserta yang hadir (kebanyakan adalah penganur
Phytagorea itu sendiri) bahwa dia tidak
benar benar akan mati, kematian adalah peristiwa lepasnya jiwa dari tubuh dan pembebasan jiwa dari tubuh kemudian akan menju ke dunia yang lebih“tinggi”. Ketika komunitas Kristen berkembang, mereka merebut padangan dualisme diatas sebagai dasar
filsafat untuk titik berat setelah kehidupan mereka. Sejak pembuktian bahwa
tubuh tidak hidup setelah mati berlimpah, kepercayaan kehidupan setela
matidapat bertumpu pada pendapat bahwa ada sesuatu yang lain pada orang tersebut,jiwanya, yang telah lepas dari tubuhnya,tidak lagi membutuhkan tubuhnya , karena itu jiwa akan tetap hidup setelah kematiannya. Ditambah lagi keutamaan bahwa jiwa tersebut adalah “orang yang tepat”. Jauh lebih penting dari tubuh dalam penentuan dirinya dan
takdirnya. Di abad ke-17, Rene Descartes, yang akrab disapa “Bapak dari
filsafat modern”, kemungkinan menjadi sosok yang paling terkenal karena pernyataannya tentang
dualisme. Tanpa menuju ke arah yang lebih jelas kehausan dan argumen
penting, kita dapat menyatakan bahwa dasar Descartez sama saja dengan
kedua pernyataan utama yang memiliki karakter dualisme dari formula awal.
Bahwa
jiwa atau pikiran adalah hal yang terpisah dan terbedakan dari tubuh
(desebabkan oleh “dualisme”) dan keduanya, salah saatu yang piling kita
ketahui, yang paling “berdiri sendiri”, adalah pikiran dan jiwa. Dengan
demikian “Aku” sebagai renungan yang paling terkenal, “Aku merasa karena itulah
Aku”, adalah sebuah “Aku” merupakan sebuah renungan. Sebuah “Keutamaan berpikir”. Sebagai bagian dari pondasi metafisik dari satu tradisi utama keagamaan kita, sebaik kemungkinannya pemahaman filsafah paling dominan tentang orang seperti apakah yng berada
di dunia Timur, dualisme adalah kenyataan dari kepentingan yang sangat
besar. Pebendaharaan kata kita dan bahkan cara kita dalam mengorganisir sisitem
pendidikan teredam dalam asumsi tersebut. “ Sebuah suara pikiran dan suara tubuh”, kita telah diberitahu selama berabad abad.
Wanita selalu dianggap sebagai objek perlakuan seksual. Kemudian mereka menuntut agar mereka lebih dihargai terhadap pola pikir mereka, dan atlit terkemuka
harus melawan prasangka bahwa mereka hanya sebuah “Olokan”. Mengikuti
rekomendasi dari hampir seluruh dualisme yang telah dijelaskan sejauh ini. Kita mengoraganisir sistem pendidikan kita dengan asumsi bahwa kita seharusnya melatih
kedua pikiran tersebut (subjek “akademik’),dan tubuh (pendidikan fisik dan
aktivitas “ekstrakurikuler”), dengan anggapan yang jelas bahwa awal lebih penting
dari yang kedua. Pada pandangan dualis, kemudian, dan dengan pengecualian
dari diskusi Plato tentang pendidikan pada “Republiknya”, olahraga,
terpusat (meskipun telah terbukti tidak dengan ekslusif), menyangkut
tubuh, tidak dapat dihindarkan akan menjadi sebuah masa lalu yang tidak
berharga. Tidak diragukan seperti asumsi dualis
misalnya, hal tersebut terdengar seperti olahraga yang tidak berarti, bahwa di banyak institut pendidikan sedikit (bahkan tidak) biaya dialokasikan untuk pendidikan jasman, dan olahraga tersebut dan pendidikan jasmani adalah sebagian
dari aktivitas awal yang menyita waktu dari sulitnya ekonomi dai sistem pendidikan.
kenyataannya adalah banyak olahraga berjalan di institusi pendidikan telah diklasifikasikkan sebagi ekstrakurikuler (secara harfiah “diluar kurikulum”) Sejak pikiran dan tubuh terpisahkan, dan sejak pikiran adalah jauh lebih utama dari keduanya, inti dari pendidikan seaharusnya diperhatikan“ kehidupan pikiran”, dan pelatihan tubuh agar menjadi indah akan dianggap sebagai pilihan bebas tiap individu.Tetai
terdapat masalah tentang pendirian dualisme yang telah dirangkum sejak diformulasikan. Kemungkinan sebagian besar penyebab masalah tersebut adalah bagaimana kedua hal ini terpisah, pikiran atau jiwa dan tubuh, ketidak pentingan yang lain, dapat beinteraksi dengan orang lain. Pikiranku menentukauntuk menulis kalimat ini dan jari jariku patuh.Atau aku berusaha menunjukan sebuah manuver fisikal yg sulit, perkataan, menyelami kesulitan, dan mendapat bimbingan psikologi terhadap kegagalan yang menyebabkan frustasi.Mungkin aku akan berathan dari “penyakit sikosomatik”. Dikedua hal positif dan negatif, interaksitubuh dan pikirandi banyak cara yang tidak baik sulit untuk dijelasakan dalam asumsi
bahwa tubuh dan pikiran atau jiwa yang melakukan interaksi. (bahkan, sangat
tidak berarti bahwa pernyataan “interaksi pikiran dan tubuh” telah teramasuk
pada asumsi dualisme). Descartes, untuk mengambil kemungkinan contoh yang
paling terken.
2.2.1 Adapun macam dari dualisme
itu sendiri adalah :
a. Dualisme Sosial
Dikemukakan oleh profesor
Boeke, yang mengatakan bahwa di dalam suatu masyarakat mungkin terdapat dua
sistem sosial yang sangat berbeda. Kedua-duanya wujud secara berdampingan
dimana yang satu tidak dapat sepenuhnya menguasai yang lainnya. Sistem sosial
yang satu modern sedang yang lainnya tradisional. Sistem sosial yang lebih
modern ini terutama berasal dari negara-negara barat.
b. Dualisme Teknologi
Dalam menelaah mengenai
dualisme di negara berkembang dua ahli ekonomi yaitu Higgins dan Myint telah
melakukan suatu studi tentang dualisme ini. Higgins menekankan kepada adanya
dualisme di bidang teknologi. Yang dimasud dengan dualisme teknologi adalah
suatu keadaan dimana di dalam sesuatu bidang kegiatan ekonomi tertentu
digunakan teknik memproduksi dan organisasi produksi yang sangat berbeda sekali
coraknya, dan mengakibatkan perbedaan yang besar sekali dalam tingkat
produktivitas.
c. Dualisme Finansial
Sedang Myint lebih banyak
menyoroti masalah lembaga keuangan di negara berkembang. Analisa Myint mengenai
pasar yang yang melahirkan adanya dualisme finansiil. Pengertian itu dapat
dijelaskan dalam dua golongan yaitu : a) adanya pasar uang yang memiliki
organisasi yang sempurna (organized money market), b) adanya pasar uang
yang tidak terorganisir sama sekali (unorganization money market).
Untuk pasar uang yang
pertama meliputi Bank-bank komersiil dan Badan-badan keuangan lainnya. Hal ini
terutama terdapat dikota-kota besar dan pusat-pusat perdagangan. Sedang pasar
uang jenis yang kedua adalah bentuk pasar uang yang bukan berbentuk
institusional terdiri dari tuan-tuan tanah, pedagang-pedagang perantara.
Biasanya pasar uang jenis ini sangat menonjol untuk daerah pedesaan yang
terkenal dengan renternir dan sistem ijon. Adanya kebutuhan yang mendesak akan
uang mengakibatkan cara tersebut yang mudah dijangkau oleh masyarakat di
pedesaan.
d. Dualisme Regional
Pada tahun 1960 an banyak
orang mulai membicarakan mengenai masalah dualisme regional. Yang dimaksud
dengan dualisme regional ini adalah ketidakseimbangan tingkat pembangunan di
berbagai daerah dalam suatu negara. Akibat dari ketidakseimbangan dalam
pembangunan mengakibatkan adanya jurang perbedaan tingkat kesejahteraan antar
berbagai daerah dan selanjutnya menimbulkan masalah sosial dan politik. Sebagai
contoh misal dualisme antara kota dengan desa, dualisme antara Pemerintahan
Pusat dengan Pemerintahan Daerah.
Adanya
berbagai macam tersebut jelas kurang menguntungkan bagi pembangunan, sebab
akibat yang dapat ditimbulkan dapat berupa ada perbedaan yang menyolok antara
golongan kaya dan miskin dimana perbedaan ini semakin lama semakin melebar
dengan distribusi pembagian pemerataan pendapatan menjadi timpang. Di samping
itu kemajuan di bidang teknologi juga akan memberikan pengaruh terhadap tingkat
kesempatan kerja yang ada. Dualisme teknologi melahirkan akibat buruh terhadap
lajunya pembangunan dan kaharmonisan proses pembangunan.
2.2.2 Faktor
penghambat pembangunan dualisme
4
Unsur pokok Konsep Dualisme :
a.
Dua keadaan yg berbeda : Superior dan inferior
b.
Kenyataan hidup perbedaan bersifat kronis dan bukan transisional.
c.
Derajat superioritas atau inferioritas terus meningkat
d.
Keterkaitan antar unsur berpengaruh kecil.
1.Mengenai
sumber hukum yang berbeda, kelemahan pendirian kaum dualis tidak dapat
dilepaskan dari pada kelemahan teori dasar mereka bahwa sumber segala sumber
hukum itu baik hukum internasional maupun hukum nasional adalah kemauan negara.
Hukum itu berlaku dan ada karena negara.Hal yang sama berlaku pula bagi
masyarakat internasional. Jadi adanya hukum dan daya ikat hukum tidak bersumber
kepada kemauan negara, melainkan merupakan prasyarat bagi kehidupan manusia
yang teratur dan beradab dan karenanya disebabkan oleh kebutuhan kehidupan
manusia bermasyarakat yang hakiki yang tidak dapat dielakkan. Dengan demikian
maka tidak tepat pula untuk berbicara berlainnya sumber dari pada hukum itu
karena pada hakekatnya sumbernya adalah sama yakni kebutuhan manusia untuk
hidup secara teratur.
2. Berlainnya
subjek hukum dan pada hukum nasional dan hukum internasional juga kurang
rnenyakinkan. Karena argumentasi kaum dualis ini dibantah oleh kenyataan bahwa
di dalam satu lingkungan hukum, katakanlah hukum nasional pun dapat saja
terjadi bahwa subjek hukum itu berlainan. Karenanya di dalan hukum nasional ada
pembagian hukum antara hukum perdata dengan hukum publik. Sebaliknya tidak pula
benar untuk mengatakan bahwa subjek hukum internasional adalah negara karena
perkembangan akhir-akhir ini menunjukan bahwa individu atau orang-perorangan
pun bisa menjadi subjek hukum internasional
3. Berbedanva struktur hukum
nasional dan hukum internasional juga kurang tepat, karena di sini letak
perbedaan tidaklah bersumber pada perbedaan hakiki atau azasi (prinsipil)
melainkan perbedaan yang gradual. Dengan perkataan lain apa yang dinamakan
perbedaan strukturil itu hanya merupakan bentuk perwujudan atau gejala saja
pada taraf integrasi yang berlainan dan pada masyarakat nasional dan masyarakat
internasiona1.
4. Pemisahan
mutlak antara hukum nasional dengan hukum internasional, tidak dapat
menerangkan dengan cara memuaskan kenyataan bahwa dalam praktek sering kali
hukum nasional itu tunduk pada atau sesuai dengan hukum internasional.
Kenyataan bahwa ada kalanya hukum nasional yang berlaku bertentangan dengan
hukum internasional, bukan merupakan bukti dari pada perbedaan strukturil
seperti dikatakan kaum dualis, melainkan hanya bukti dan kurang efektifnya
hukum internasional
2.3 DUALISME
PENDIDIKAN
Sebelum
menjelaskan bagaimana dualisme pendidikan yang berkembang di Indonesia,
terlebih dahulu akan dijelaskan makna dari dualisme tersebut, sehingga dengan memberikan
penjelasan makna dualisme tersebut diharapkan akan memberikan pemahaman yang
utuh.
Di
dalam kamus besar bahasa Indonesia dijelaskan bahwa dualisme adalah dua prinsip
yang saling bertentangan . Selanjutnya secara terminologi dualisme dapat diartikan
sebagai dua prinsip atau paham yang berbeda dan saling bertentangan.
Selanjutnya kata dualisme sangat erat hubungannnya dengan kata dikotomi yang
didefinisikan sebagai pembagian dua kelompok yang saling bertentangan, secara
terminologi dikotomi dipahami sebagai pemisahan antara ilmu dan agama yang
kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik lainnya, seperti
dikotomi ulama dan intelektual, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam.
2.3.1Penjelasan
Dualisme Pendidikan,
Marwan
Sarijo menyatakan bahwa istilah dualisme dan dikotomi memiliki makna yang sama
yaitu pemisahan antara pendidikan umum dari pendidikan agama.
Dari
penjelasan diatas jelaslah bahwa dualisme dan dikotomi yang terjadi pada
pendidikan adalah adanya pemisahan sistem pendidikan antara pendidikan umum dan
pendidikan agama, pemisahan antara ilmu umum dan ilmu agama, yang pada akhirnya
melahirkan pemisahan antara sekolah umum dan sekolah agama (madrasah), antara
mata pelajaran umum dan mata pelajaran agama, yang masing-masing dianggap
saling bertentangan satu dengan yang lainnya.
Pada
dasarnya dualisme yang terjadi di dalam sistem pendidikan Indonesia merupakan
perjalanan panjang sistem pendidikan yang telah terjadi sebelum Indonesia
meraih kemerdekaannya. Hal ini dapat ditelusuri dari sistem pendidikan yang
dilaksanakan oleh pemerintah Belanda pada saat penjajahan berlangsung.
Sekolah-sekolah
yang didirikan oleh Belanda, seperti sekolah kelas satu yang dikhususkan untuk
anak-anak kaum bangsawan, dengan lama belajarnya lima tahun, sekolah kelas dua
yang dirancang untuk mempersiapkan pegawai-pegawai rendah bagi kantor
pemerintahan dan perusahaan Belanda, sekolah desa (Volksschool) yang memiliki
kurikulum kelas 1 : membaca dan menulis bahasa melayu dengan huruf latin, latihan
bercakap, berhitung 1-20, kurikulum kelas 2 : lanjutan membaca dan menulis ,
kurikukul kelas 3 : ulangan, berhitung diatas 100 dan pecahan sederhana.
Selain
sekolah-sekolah tersebut, terdapat juga sekolah-sekolah yang dibangun oleh
Belanda yang dalam pelaksanaanya hanya memasukkan dan mementingkan mata
pelajaran umum, seperti :
1.
Europeesche Lagere School (ELS),yang kurikulumnya meliputi : mata pelajran
memabaca, menulis, berhitung, bahasa Belanda, sejarah, ilmu bumi dan mata
pelajaran lainnya.
2.
Hollandsche Chineesche School (HCS), yang kurikulumnya sama seperti kurikulum
ELS, Hollandsche Inlandsche School(HIS) yang merupakan sekolah yang diberikan
kepada masyarakat elit Indonesia, yang kurikulum terpenting sekolah ini adalah
bahasa Belanda.
3.
Meer Unitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang merupakan sekolah lanjutan dari
HIS, kurikulum sekolah ini menekankan kepada pengajaran bahasa Belanda,
Prancis, Inggris, dan Jerman, dalam proses pembelajrannya setengah waktu
digunakan untuk mempelajari bahasa, sepertiga untuk matematika dan ilmu
pengetahuan alam dan seperenam untuk ilmu pengetahuan sosial
4.
Hoogere Burger School (HBS), yang merupakan sekolah tingkat menengah, yang
kurikulumnya sama seperti kurikulum HBS yang ada di Belanda.
5.
Algeemene Middelbare School (AMS), sekolah yang merupakan menengah lanjutan
dari MULO, yang dibagi kepada dua bagian yaitu bagian A : ilmu pengetahuan
kebudayaan yang terdiri dari A1 bagian kesustraan timur dan A2 bagian klasik
barat, dan bagian B : ilmu pengetahuan kealaman.
Dari
gambaran pendidikan yang dilaksanakan di sekolah-sekolah tersebut, maka
terlihat jelas bahwa Belanda melaksanakan sistem pendidikan yang diskriminatif,
yang tidak hanya membatasi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan pendidikan
yang merata sebagai mobilitas kehidupan, namun juga melarang pengajaran agama
di sekolah-sekolah tersebut yang hanya memberikan pengajaran ilmu-ilmu saja.
Mengenai
larangan pelajaran agama untuk diajarkan di sekolah-sekolah tersebut Mulyanto
Sumardi, sebagaimana yang dikutip oleh Haidar menjelaskan bahwa pemerintahan
Belanda Memiliki sikap netral terhadap pendidikan agama di sekolah-sekolah, ini
dinyatakan dalam pasal 179 IS (Indische
Staatsregeling), dan dalam beberapa ordonasi, secara singkat dinyatakan sebagai
berikut : pengajaran umum adalah netral, artinya bahwa pengajaran itu diberikan
dengan menghormati keyakinan agama masing-masing, pengajaran agama hanya boleh
berlaku di luar jam sekolah.
Dari
penjelasan Mulyanto tersebut menggambarkan bahwa kebijakan pendidikan yang diselenggarakan
oleh Belanda pada waktu itu merupakan pendidikan yang menekan terutama terhadap
masyarakat islam, yaitu penekanan yang dilakukan pemerintahan Belanda dengan
memberlakukan ordonansi guru.
Pemerintahan
Belanda mengeluarkan ordonansi yang pertama pada tahun 1905, dimana ordonansi
tersebut mewajibkan setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin
terlebih dahulu, sebelum melaksanakan tugasnya sebagai guru agama. Sedangkan
ordonansi yang kedua yang dikeluarkan pada tahun 1925, hanya mewajibkan guru agama
untuk melaporkan diri. Kebijakan pendidikan Belanda yang memberlakukan
ordonansi guru tersebut memberikan penekanan pada masyarakat muslim pada saat
itu, hal ini dilakukan Belanda sebagai usaha untuk meredam perkembangan
pemahaman agama Islam dan sepak terjang guru agama Islam yang memperluas
pengembangan agama Islam melalui kegiatan pendidikan. Hal ini dilakukan pihak
Belanda bukan tanpa alasan, melainkan kekhawatiran mereka jika pemahaman agama
Islam berkembang maka ini akan dapat melahirkan sebuah gerakan sosial agama
khususnya Islam yang menciptakan sikap sentimen anti penjajahan yang sekaligus
mendorong sikap anti pemerintahan Belanda. Mengenai hal ini Nurhayati Djamas
menjelaskan bahwa paranoid pemerintahan Belanda terhadap perkembangan Islam
tentu saja sangat beralasan mengingat berbagai perlawanan yang muncul dari
masyarakat Indonesia banyak dilatarbelakangi oleh hal-hal yang bersifat
keagamaan, seperti perlawanan dari gerakan tarekat dalam peristiwa Cianjur,
Cilegon, dan garut yang dianggap membahayakan bagi pemerintahan Belanda.
Pada
saat masyarakat muslim Indonesia merasa tertekan dengan adanya kebijakan
pemerintahan Belanda tersebut, maka didirikanlah sekolah-sekolah yang selain
mengajarkan ilmu-ilmu umum juga mengajarkan agama. Sekolah-sekolah tersebut
dipelopori oleh organasasi Islam yang ada pada saat itu, seperti organisasi
Jami’at Khair yang mendirikan sekolah dasar pada tahun 1905, walaupun sekolah
tersebut bukanlah sekolah agama namun selain mengajarkan pelajaran umum juga mengajarkan
pelajaran agama. Dikalangan Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah, seperti
MULO met de Qur’an.
Dengan
adanya sekolah-sekolah yang didirikan oleh organisasi Islam pada saat itu yang
tidak hanya memberikan pengajaran pelajaran-pelajaran umum saja melainkan juga
mmberikan pengajaran pelajaran agama memberikan agin segar bagi sistem
pendidikan Indonesia, setidaknya sekolah-sekolah tersebut merupakan cikal bakal
lahirnya sekolah yang ingin keluar dari sistem dualisme pendidikan Belanda,
walaupun diakui bahwa sekolah sekolah tersebut masih lebih banyak memberikan
perhatiannya terhadap pelajaran umum dari pada pelajaran agama, namun terlepas
dari hal itu, kita harus menyadari bahwa gebrakan yang dilakukan
organisasi-organisasi Islam pada saat itu merupakan manuver yang luar biasa
sehingga perlu diberikan apresiasi yang tinggi.
Memasuki
masa kemerdekaan Indonesia, kelihatannya kebijakan pendidikan tidak lagi
mendiskriminasi pendidikan agama (Islam), pada saat itu ada upaya mengakui
pendidikan agama (Islam) sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional yang
memiliki hak mendapatkan perhatian dari pemerintahan. Hal ini merupakan
implementasi dari sila pertama Pancasila yang merupakan ideologi bangsa yang
berbunyi ketuhanan yang maha Esa, untuk mengimplematasikan sila tersebut
pemerintahan membentuk departemen agama pada tanggal 3 Januari 1946, yang
memiliki tugas utamanya adalah mengurusi masalah kehidupan beragama bagi
seluruh masyarakat Indonesia, salah satu diantaranya adalah masalah pendidikan
agama. Ruang lingkup pendidikan agama yang dikelola oleh departemen agama ini
tidak hanya terbatas pada sekolah-sekolah agama seperti pesantren dan madrasah,
tetapi juga menyangkut sekolah-sekolah umum.
Selanjutnya
Haidar mencatat upaya-upaya untuk melaksanakan pendidikan agama di sekolah umum
telah dimulai sejak adanya rapat Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat
(BPKNIP), diantara usulan badan tersebut kepada kementrian pendidikan,
pengajaran dan kebudayaan adalah termasuk masalah pengajaran agama madrsah dan
pesantren. Mengenai hal ini Haidar juga memaparkan usul badan pekerja
tersebut, sebagaimana yang ia kutip dari Soegarda Poerbakawatja sebagai berikut
:
Pengaajran
agama hendaknya mendapat tempat yang teratur seksama, hingga cukup mendapat
perhatian yang semestinya, dengan tidak mengurangi kemerdekaan
golongan-golongan yang berkehendak mengikuti kepercayaan yang dipilihnya.
Tentang cara melakukan ini baiklah kementrian mengadakan perundingan dengan
badan pekerja. Madrasah dan pesantren-pesantren yang pada hakikatnya adalah
satu alat dan sumber pendidikan dan penderdasan rakyat jelata yang sudah
berurat berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya hendaklah pula mendapat
perhatian dan bantuan yang nyata dengan berupa tuntunan dan bantuan dari
pemerintahan.
Dari
penjelasan ini memperlihatkan adanya fakta bahwa pemerintahan Indonesia ingin
mengeluarkan pendidikan agama dari belenggu sistem dualisme pendidikan,
walaupun usaha tersebut belum sepenuhnya memberikan harapan yang pasti terhadap
pengahpusan dualisme pendidikan, sehingga perlu beberapa kebijakan pemerintah
lainnya terhadap pendidikan yang selanjutnya kebijakan pemerintah tersebut dari
tahun ke tahun hingga saat ini mengalami perubahan dan perbaikan untuk
melepaskan diri dari belenggu dualisme pendidikan yang begitu mengental sebelum
kemerdekaan.
2.4 INTEGRASI PENDIDIKAN AGAMA DAN UMUM
Pasca
kemerdekaan Indonesia, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa
pemerintahan memberikan peluang untuk menghilangkan dualisme pendidikan. Hal
ini berarti bahwa keberadaan pendidikan agama mendapat dukungan dari
pemerintahan dalam pelaksanaan di sekolah-sekolah. Dilain pihak
sesungguhnya pendidikan agama di Indonesia sudah berlangsung cukup lama, hal
ini digambarkan dengan sikap hidup masyarakat Indonesia yang begitu kental
dengan kehidupan yang agamis, terlebih pendidikan Islam yang telah berlangsung
sejak masuknya agama tersebut di Indonesia, walaupun pada mulanya pendidikan
islam tidaklah berlangsung secara institusional atau sifatnya yang masih nonformal,
namun dikemudian hari pendidikan Islam tersebut berkembang dengan tumbuhnya
lembaga-lembaga formal pendidikan Islam seperti pesantren dan madrasah.
Pendidikan
agama pada dasarnya bertujuan untuk memberikan pendidikan yang
menumbuhkembangkan potensi akal, potensi hati (jiwa) dan juga potensi skill
yang sesuai dengan tuntutan agama. Sehingga pendidikan agama tersebut haruslah
diberikan pada kurikulum setiap sekolah. Usaha memasukkan kurikulum agama di
dalam pendidikan sekolah pasca kemerdekaan dilaksanakan berkat usul Badan
Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) sebagaimana yang telah
dijelaskan sebelumnya.
BAB III
KESIMPULAN
DAN SARAN
3.1 KESIMPULAN
Dualisme adalah konsep filsafat yang menyatakan ada dua
substansi. Dalam pandangan tentang hubungan antara jiwa dan raga, dualisme
mengklaim bahwa fenomena mental adalah entitas non-fisik. Gagasan
tentang dualisme jiwa dan raga berasal setidaknya sejak zaman Plato dan Aristoteles dan berhubungan dengan spekulasi
tantang eksistensi jiwa yang terkait dengan kecerdasan dan kebijakan. Plato dan Aristoteles
berpendapat, dengan alasan berbeda, bahwa "kecerdasan" seseorang
(bagian dari budi atau jiwa) tidak bisa diidentifikasi atau dijelaskan dengan
fisik.
Fonemena
dulaisme keilmuan yang sekarang melanda umat Islam itu relative baru (kira-kira
awal abad 19 M, ketika bangsa Islam mulai dijajah). Dulaisme lembaga pendidikan
sekarang ini ada yang disebut sekolah umum dan ada diistilahkan sekolah agama,
dimana terciptalah sarjana agama yang begitu pintar ilmu syariah, tapi tidak
tahu menahu-tahu tentang ilmu umum. Begitu sebaliknya seorang profesor
kimia, misalnya pintar sekali dibidangnya, tapi selalu mengatakan ,saya ini
orang awam untuk urusan agama. Adanya pendidikan agama di sekolah-sekolah di
Indonesia sudah tidak bisa dinafikan lagi, akan tetapi kenapa pada faktanya
pendidikan di Indonesia mengalami keterpurukan baik dari sisi output pendidikan
yang masih rendah bila dibandingkan negara-negara yang baru merdeka seperti
Vietnam. Begitupula tentang kenakalan remaja yang terjerumus ke dalam korban
narkoba semakin meningkat dari tahun ke tahun, serta tindakan korupsi yang
sudah mengakar di negeri ini. Kondisi ini tidak mungkin dibiarkan berlarut-larut
paling tidak ada peningkatan kualitas pendidikan dan penyelewengan pendidikan
dapat diminimalisir.
3.2. PENUTUP
“ Sesungguhnya kami hanyalah Muballigh (orang yang menyampaiakan ilmu Allah S.W.T) dan Allah sajalah yang berkuasa untuk memberikan petunjuk”.Semoga kita tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang tersesat. Mohonlah selalu akan petunjuk Alloh “ihdinasshirotol mustaqiim”. Mohon maaf atas segala kekurangan .
“ Sesungguhnya kami hanyalah Muballigh (orang yang menyampaiakan ilmu Allah S.W.T) dan Allah sajalah yang berkuasa untuk memberikan petunjuk”.Semoga kita tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang tersesat. Mohonlah selalu akan petunjuk Alloh “ihdinasshirotol mustaqiim”. Mohon maaf atas segala kekurangan .
DAFTAR
PUSTAKA
http://www.sejarah
dualisme.com/2012/12/makalah-dualisme-pendidikan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar