Rabu, 11 Februari 2015

DUALISME DALAM PENDIDIKAN




MAKALAH
FILSAFAT OLAH RAGA
 (DUALISME DALAM PENDIDIKAN)



  
OLEH KELOMPOK VII :

-            SYATRIA
-            GOVINDA NOZA PUTRA
-            M. SUKRON Al GHUFFRON
-            TIWI PUJI LESTARI


 







DOSEN PENGAMPU
                                           ADE SAPUTRA,S.Pd.,M.Pd






PENDIDIKAN OLAH RAGA DAN KESEHATAN
FAKULTAS ILMU KEOLAH RAGAAN
UNIVERSITAS JAMBI
2014/2015
 




DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENAGANTAR........................................................................................... i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1     Latar Belakang........................................................................................ 1   
1.2     Rumusan Masalah................................................................................... 3         
1.3     Tujuan..................................................................................................... 3   

BAB  II  PEMBAHASAN/ ISI
2.1 Pengertian Dualisme................................................................................. 4
2.2 Sejarah Dualisme...................................................................................... 5
2.2.1 Macam Macam Dari Dualisme....................................................... 12
2.2.2  Faktor Penghambat Pembangunan Dualisme................................. 14
2.2.3 Kelemahan Teori Dualisme............................................................ 15
2.3 Dualisme Pendidikan............................................................................... 16
2.4 Integrasi Pendidikan................................................................................ 23

BAB III  KESIMPULAN DAN SARAN
            3.1.Kesimpulan ............................................................................................. 25                   
            3.2. Penutup................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 27
           
                                                  KATA PENGANTAR

            Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul" DUALISME DALAM PENDIDIKAN  . makalah ini dibuat sebagai media untuk menambah wawasan pengetahuan demi tercapainya tujuan pembelajaran. 
            Penyusunan makalah ini dimaksudkan agar kedepannya kita tidak mengalami kesulitan dalam melakukan perkuliahan mata kuliah karate . Oleh karena itu, penulis  berharap dengan adanya makalah ini, kita sebagai mahasiswa dapat mengetahui kajian dualisme .
Dalam penyusunan makalah ini, penulis menyadari bahwa makalah yang penulis buat ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, demi penyempurnaan makalah ini penulis mengharapkan saran dan kritik dari berbagai pihak.

            Akhir kata penulis ucapkan banyak terima kasih kepada bapak ADE SAPUTRA. S.Pd , M.Pd selaku dosen mata kuliah yang telah membimbing dan mengarahkan penulis, serta rekan-rekan dan semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan makalah ini.
         
        jambi ,    Desember  2014



                                                                                                                              Penyusun





 BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan kunci untuk menapaki masa depan. Pendidikan menjadi penting artinya karena melalui pendidikanlah yang menentukan arah kehidupan melalui proses pembelajaran antar generasi. Melaui proses sosialisasi, enkulturasi di dalam institusi primer yaitu dalam keluarga. Dari situlah proses pewarisan unsur budaya dalam hal ini adalah pembelajaran dilakukan pertamakali. Di dalam literature ilmu sosial disebutkan bahwa kebudayaan didefinisikan sebagai suatu keseluruhan sistem ide, sistem sosial, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dimiliki manusia melalui proses belajar. Ini berarti kunci pokok dari kehidupan manusia itu terletak dari adanya proses belajar.
Sedemikian pentingnya pendidikan ini dalam hidup, maka pendidikan selalu menjadi ranah selalu hangat untuk diperbincangkan.Hal yang menarik lagi dalam diskursus mengenai tema besar ini adalah pijakan akar budaya dan historisitas dari perkembangan pendidikan di Indonesia.Suatu kondisi yang tidak boleh tidak ada seandainya kita mau meneliti tentang perkembangan pendidikan di negeri kita ini adalah faktor kesejarahan.Bagaimanapun juga sejarah warisan kolonial Belanda turut membentuk wajah pendidikan Indonesia. Kalau kita perhatikan, dari jaman kolonial sampai sekarang ada tendensi yang mengarah pada pola akibat bentukan budaya yang mengakar kuat.Fenomena pembagian menjadi dua bagian antara negeri dan swasta, umum dan agama, sentralistik dan desentralisasi, menejemen berbasis sekolahan dan menejemen berbasis pusat, kurikulum berbasis kompetensi dan kurikulum berbasis pengetahuan, kesemuanya itu lebih kita tempatkan sebagai fakta sejarah.
Fonemena dulaisme keilmuan yang sekarang melanda umat Islam itu relative baru (kira-kira awal abad 19 M, ketika bangsa Islam mulai dijajah).Dulaisme lembaga pendidikan sekarang ini ada yang disebut sekolah umum dan ada diistilahkan sekolah agama, dimana terciptalah sarjana agama yang begitu pintar ilmu syariah, tapi tidak tahu menahu-tahu tentang ilmu umum. Begitu sebaliknya seorang profesor kimia, misalnya pintar sekali dibidangnya, tapi selalu mengatakan ,saya ini orang awam untuk urusan agama. Adanya pendidikan agama di sekolah-sekolah di Indonesia sudah tidak bisa dinafikan lagi, akan tetapi kenapa pada faktanya pendidikan di Indonesia mengalami keterpurukan baik dari sisi output pendidikan yang masih rendah bila dibandingkan negara-negara yang baru merdeka seperti Vietnam. Begitupula tentang kenakalan remaja yang terjerumus ke dalam korban narkoba semakin meningkat dari tahun ke tahun, serta tindakan korupsi yang sudah mengakar di negeri ini. Kondisi ini tidak mungkin dibiarkan berlarut-larut paling tidak ada peningkatan kualitas pendidikan dan penyelewengan pendidikan dapat diminimalisir.


1.2  Rumusan Mashalah
            Untuk mengkaji dan mengulas tentang Filsafat olah Raga ( Dualisme ), maka diperlukan subpokok bahasan yang saling berhubungan, sehingga penulis membuat rumusan masalah sebagai berikut:
a.         Pengertian dari dualisme Dualisme
b.        Mengkaji sejarah dualisme
c.         Mengkaji tentang dualisme pendidikan
d.        Untuk mengetahui integrasi pendidikan Agama Dan Umum

1.3              Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu sebagai berikut.
1.        Untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Olahraga.
2.        Untuk mengetahui pengertian Dualisme.
3.        Untuk mengetahui darimana sejarah dualisme itu
4.        Untuk mengetahui Dualisme Pendidikan.
5.        Untuk mengetahui integrasi pendidikan Agama Dan Umum





BAB II
PEMBAHASAN/ISI
2.1 Pengertian Dualisme
Dualisme adalah konsep filsafat yang menyatakan ada dua substansi. Dalam pandangan tentang hubungan antara jiwa dan raga, dualisme mengklaim bahwa fenomena mental adalah entitas non-fisik.
Gagasan tentang dualisme jiwa dan raga berasal setidaknya sejak zaman Plato dan Aristoteles dan berhubungan dengan spekulasi tantang eksistensi jiwa yang terkait dengan kecerdasan dan kebijakan. Plato dan Aristoteles berpendapat, dengan alasan berbeda, bahwa "kecerdasan" seseorang (bagian dari budi atau jiwa) tidak bisa diidentifikasi atau dijelaskan dengan fisik.
Versi dari dualisme yang dikenal secara umum diterapkan oleh René Descartes (1641), yang berpendapat bahwa budi adalah substansi nonfisik. Descartes adalah yang pertama kali mengidentifikasi dengan jelas budi dengan kesadaran dan membedakannya dengan otak, sebagai tempat kecerdasan. Sehingga, dia adalah yang pertama merumuskan permasalahan jiwa-raga dalam bentuknya yang ada sekarang.[4] Dualisme bertentangan dengan berbagai jenis monisme, termasuk fisikalisme dan fenomenalisme. Substansi dualisme bertentangan dengan semua jenis materialisme, tetapi dualisme properti dapat dianggap sejenis materilasme emergent sehingga akan hanya bertentangan dengan materialisme non-emergent.
Dualisme adalah ajaran atau aliran/faham yang memandang alam ini terdiri atas dua macam hakekat yaitu hakekat materi dan hakekat rohani. Kedua macam hakekat itu masing-masing bebas berdiri sendiri, sama azazi dan abadi. Perhubungan antara keduanya itu menciptakan kehidupan dalam alam Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja sama kedua hakekat ini adalah terdapat dalam diri manusia. Konsep
Dualisme adalah Perbedaan antara bangsa kaya dan miskin, perbedaan antara berbagai golongan masyarakat yang semakin meningkat. Pengertian dualisme itu sendiri dapat diartikan sebagai adanya dua sistem yang sangat berbeda dan kedua-duanya wujud secara berdampingan.

2.2 Sejarah Dualisme
Dua dari pandangan kuno dari pertanyaan ini telah diubah sebagai filosofi Pra-Socratic: “dualisme” muncul dalam ajaran Phitagorean tentang perpindahan jiwa, dan “kebendaan” hadir seperti posisi falsafah sebagai “atomisme” Democritus. Penganut paham Phytagoras berpegang pada itikad keagamaan bahwa, jiwa, saat kematian, perpindahan jiwa semata dari jasad yangmereka tempati menjadi tubuh yang lainnya (terkadangperpindahanterjadi tidak hanya dalam spesies yang sama). In order to hold this, mereka harus membuat perbedaan yang jelas antara dua hal, antara tubuh dan jiwa. Walaupun bagi penganut Phitagoras, pengajaran individu adalah kombinasi dari tubuh dan jiwa, terdapat keyakinan yang sangat penting bahwa pada pandangan ini telah ditegakkan. Pertama, tubuh dan jiwa dapat dipisahkan. Bahkan, kematian didefinisikan oleh para penganut Phitagoras adalah pemisahan jiwa dari tubuhnya (maka jiwanya kini “bebas” dari tubuhnya, dan dapat berpindah pada yanglain). Yang  kedua, memberi pemisahan, orang yang “nyata” adalah bukan tubuhnya melainkan jiwanya, jiwanya adalah dimensi utama dalam “personalitas” orang tersebut.
Plato menghibur dan melewati posisi dualis dalam dialognya, The phaedo, yang menghadirkan Socrates, di hari kematiannya, dia membujuk peserta yang hadir (kebanyakan adalah penganur Phytagorea itu sendiri) bahwa dia tidak benar-benar akan mati, kematian adalah peristiwa lepasnya jiwa dari tubuh dan pembebasan jiwa dari tubuh kemudian akan menju ke dunia yang lebih “tinggi”.Ketika komunitas Kristen berkembang, mereka merebut padangan dualisme diatas sebagai dasar filsafat untuk titik berat setelah kehidupan mereka. Sejak pembuktian bahwa tubuh tidak hidup setelah mati berlimpah, kepercayaan kehidupan setela mati dapat bertumpu pada pendapat bahwa ada sesuatu yang lain pada orang tersebut, jiwanya, yang telah lepas dari tubuhnya, tidak lagi membutuhkan tubuhnya, karena itu jiwa akan tetap hidup setelah kematiannya. Ditambah lagi keutamaan bahwa jiwa tersebut adalah “orang yang tepat”. Jauh lebih penting dari tubuh dalam penentuan dirinya dan takdirnya.
Di abad ke-17, Rene Descartes, yang akrab disapa “Bapak dari filsafat modern”,kemungkinan menjadi sosok yang paling terkenal karena pernyataannya tentang dualisme. Tanpa menuju ke arah yang lebih jelas kehausan dan argumen penting, kita dapat menyatakan bahwa dasar Descartez sama saja dengan kedua pernyataan utama yang memiliki karakter dualisme dari formula awal. Bahwa jiwa atau pikiran adalah hal yang terpisah dan terbedakan dari tubuh (desebabkan oleh “dualisme”) dan keduanya, salah saatu yang piling kita ketahui, yang paling “berdiri sendiri”, adalah pikiran dan jiwa. Dengan demikian “Aku” sebagai renungan yang paling terkenal, “Aku merasa karena itulah Aku”, adalah sebuah “Aku” tang merupakan sebuah renungan. Sebuah “Keutamaan berpikir”.Sebagai bagian dari pondasi metafisik dari satu tradisi utama keagamaan kita, sebaik kemungkinannya pemahaman filsafah paling dominan tentang orang seperti apakah yang berada di dunia Timur, dualisme adalah kenyataan dari kepentingan yang sangat besar. Pebendaharaan kata kita dan bahkan cara kita dalam mengorganisir sisitem pendidikan teredam dalam asumsi tersebut. “Sebuah suara pikiran dan suara tubuh”, kita telah diberitahu selama berabad-abad.
Wanita selalu dianggap sebagai objek perlakuan seksual.Kemudian mereka menuntut agar mereka lebih dihargai terhadap pola pikir mereka, dan atlit terkemuka harus melawan prasangka bahwa mereka hanya sebuah “Olokan”. Mengikuti rekomendasi dari hampir seluruh dualisme yang telah dijelaskan sejauh ini. Kita mengoraganisir sistem pendidikan kita dengan asumsibahwa kita seharusnya melatih kedau pikiran tersebut (subjek “akademik’), dan tubuh (pendidikan fisik dan aktivitas “ekstrakurikuler”), dengan anggapan yang jelas bahwa awal lebih penting dari yang kedua. Pada pandangan dualis, kemudian, dan dengan pengecualian dari diskusi Plato tentang pendidikan pada “Republiknya”, olahraga, terpusat (meskipun telah terbukti tidak dengan ekslusif), menyangkut tubuh, tidak dapat dihindarkan akan menjadi sebuah masa lalu yang tidak berharga. Tidak diragukan seperti asumsi dualis misalnya, hal tersebut terdengar seperti olahraga yang tidak berarti, bahwa di banyak institut pendidikan sedikit (bahkan tidak) biaya dialokasikan untuk pendidikan jasmani, dan olahraga tersebut dan pendidikan jasmani adalah sebagian dari aktivitas awal yang menyita waktu dari sulitnya ekonomi dai sistem pendidikan. kenyataannya adalah banyak olahraga berjalan di institusi pendidikan telah diklasifikasikkan sebagai ekstrakurikuler (secara harfiah “diluar kurikulum).
Sejak pikiran dan tubuh terpisahkan, dan sejak pikiran adalah jauh lebih utama dari keduanya, inti dari pendidikan seaharusnya diperhatikan “ kehidupan pikiran”, dan pelatihan tubuh agar menjadi indah akan dianggap sebagai pilihan bebas tiap individu.Tetapi terdapat masalah tentang pendirian dualisme yang telah dirangkum sejak diformulasikan. Kemungkinan sebagian besar penyebab masalah tersebut adalah bagaimana kedua hal ini terpisah, pikiran atau jiwa dan tubuh, ketidak pentingan yang lain, dapat beinteraksi dengan orang lain. Pikiranku menentukan untuk menulis kalimat ini dan jari-jariku patuh. Atau aku berusaha menunjukan sebuah manuver fisikal yan sulit, perkataan, menyelami kesulitan, dan mendapat bimbingan psikologi terhadap kegagalan yang menyebabkan frustasi. Mungkin aku akan berathan dari “penyakit sikosomatik”. Di kedua hal positif dan negatif, interaksi tubuh dan pikirandi banyak cara yang tidakbaik sulit untuk dijelasakan dalam asumsi bahwa tubuh dan pikiran atau jiwa yng melakukan interaksi. (bahkan, sangat tidak berarti bahwa pernyataan “ interaksi pikiran dan tubuh” telah teramasuk pada asumsi dualisme). Descartes, untuk mengambil kemungkinancontoh yang paling terkenal.
DUALISME Dua dari pandangan kuno daripertanyaan ini telah diubah sebagai filosofi Pra- Socratic: “dualisme” muncul dalam ajaran Phitagorean tentang perpindahan jiwa, dan  “kebendaan” hadir seperti posisi falsafah sebagai  “atomisme” Democritus. Penganut  paham Phytagoras berpegang pada itikad keagamaan bahwa, jiwa, saat kematian, perpindahan jiwa semata dari jasad yang mereka tempati menjadi tubuh yang lainnya (terkadang perpindahan terjadi tidak hanya dalam spesies yang sama). In order to hold this, mereka harus membuat perbedaan yang jelas antara dua hal, antara tubuh dan  jiwa. Walaupun bagi penganut Phitagoras, pengajaran individu adalah kombinasi dari tubuh dan jiwa, terdapat keyakinanyang sangat penting bahwa pada pandangan ini telah ditegakkan. Pertama, tubuh dan jiwa dapat dipisahkan. Bahkan, kematian didefinisikan oleh para penganut Phitagoras adalah pemisahan jiwa dari tubuhnya  (maka jiwanya kini “bebas” dari tubuhnya, dan dapat berpindah pada yang lain). Yang kedua, memberi pemisahan, orang yang “nyata” adalah bukan tubuhnya melainkan jiwanya, jiwanya adalah dimensi utama dalam “personalitas” orang tersebut.Plato menghibur dan melewati posisidualis dalam dialognya, The phaedo, yang menghadirkan S ocrates, di hari kematiannya, dia membujuk peserta yang hadir (kebanyakan adalah penganur Phytagorea itu sendiri) bahwa dia tidak benar benar akan mati, kematian adalah peristiwa lepasnya jiwa dari tubuh dan pembebasan jiwa dari tubuh kemudian akan menju ke dunia yang lebih“tinggi”. Ketika komunitas Kristen berkembang, mereka merebut padangan dualisme diatas sebagai dasar filsafat untuk titik berat setelah kehidupan mereka. Sejak pembuktian bahwa tubuh tidak hidup setelah mati berlimpah, kepercayaan kehidupan setela matidapat bertumpu pada pendapat bahwa ada sesuatu yang lain pada orang tersebut,jiwanya, yang telah lepas dari tubuhnya,tidak lagi membutuhkan tubuhnya , karena itu jiwa akan tetap hidup setelah kematiannya. Ditambah lagi keutamaan bahwa jiwa tersebut adalah “orang yang tepat”. Jauh lebih penting dari tubuh dalam penentuan dirinya dan takdirnya. Di abad ke-17, Rene Descartes, yang akrab disapa “Bapak dari filsafat modern”, kemungkinan menjadi sosok yang paling terkenal karena pernyataannya tentang dualisme. Tanpa menuju ke arah yang lebih jelas kehausan dan argumen penting, kita dapat menyatakan bahwa dasar Descartez sama saja dengan kedua pernyataan utama yang memiliki karakter dualisme dari formula awal. 
Bahwa jiwa atau pikiran adalah hal yang terpisah dan terbedakan dari tubuh (desebabkan oleh “dualisme”) dan keduanya, salah saatu yang piling kita ketahui, yang paling “berdiri sendiri”, adalah pikiran dan jiwa. Dengan demikian “Aku” sebagai renungan yang paling terkenal, “Aku merasa karena itulah Aku”, adalah sebuah “Aku” merupakan sebuah renungan. Sebuah “Keutamaan berpikir”.  Sebagai bagian dari pondasi metafisik dari satu tradisi utama keagamaan kita, sebaik kemungkinannya pemahaman filsafah paling dominan tentang orang seperti apakah yng berada di dunia Timur, dualisme adalah kenyataan dari kepentingan yang sangat besar. Pebendaharaan kata kita dan bahkan cara kita dalam mengorganisir sisitem pendidikan teredam dalam asumsi tersebut.  “ Sebuah suara pikiran dan suara  tubuh”, kita telah diberitahu selama berabad abad. 
Wanita selalu dianggap sebagai objek perlakuan seksual. Kemudian mereka menuntut agar mereka lebih dihargai terhadap pola pikir mereka, dan atlit terkemuka harus melawan prasangka bahwa mereka hanya sebuah “Olokan”. Mengikuti rekomendasi dari hampir seluruh dualisme yang telah dijelaskan sejauh ini. Kita mengoraganisir sistem pendidikan kita dengan asumsi bahwa kita seharusnya melatih kedua pikiran tersebut (subjek “akademik’),dan tubuh (pendidikan fisik dan aktivitas “ekstrakurikuler”), dengan anggapan yang jelas bahwa awal lebih penting dari yang kedua. Pada pandangan  dualis, kemudian, dan dengan pengecualian dari diskusi Plato tentang pendidikan  pada “Republiknya”, olahraga, terpusat (meskipun telah terbukti tidak dengan ekslusif), menyangkut tubuh, tidak dapat dihindarkan akan menjadi sebuah masa lalu yang tidak berharga. Tidak diragukan seperti asumsi dualis misalnya, hal tersebut terdengar seperti olahraga yang tidak   berarti, bahwa di banyak institut pendidikan sedikit (bahkan tidak) biaya dialokasikan untuk pendidikan jasman, dan olahraga tersebut dan pendidikan jasmani adalah sebagian dari aktivitas awal yang menyita waktu dari sulitnya ekonomi dai sistem pendidikan. kenyataannya adalah banyak olahraga berjalan di institusi pendidikan telah diklasifikasikkan sebagi ekstrakurikuler (secara harfiah “diluar kurikulum”) Sejak pikiran dan tubuh terpisahkan, dan sejak pikiran adalah jauh lebih utama dari keduanya, inti dari pendidikan seaharusnya diperhatikan“ kehidupan pikiran”, dan pelatihan tubuh agar menjadi indah akan dianggap sebagai pilihan bebas tiap individu.Tetai terdapat masalah tentang pendirian dualisme yang telah dirangkum sejak diformulasikan. Kemungkinan sebagian besar penyebab masalah tersebut adalah bagaimana kedua hal ini terpisah, pikiran atau jiwa dan tubuh, ketidak pentingan yang lain, dapat beinteraksi dengan orang lain. Pikiranku menentukauntuk menulis kalimat ini dan jari jariku patuh.Atau aku berusaha menunjukan sebuah manuver fisikal yg sulit, perkataan, menyelami kesulitan, dan mendapat bimbingan psikologi terhadap kegagalan yang menyebabkan frustasi.Mungkin aku akan berathan dari “penyakit sikosomatik”. Dikedua hal positif dan negatif, interaksitubuh dan pikirandi banyak cara yang tidak baik sulit untuk dijelasakan dalam asumsi bahwa tubuh dan pikiran atau jiwa yang melakukan interaksi. (bahkan, sangat tidak berarti bahwa pernyataan “interaksi pikiran dan tubuh” telah teramasuk pada asumsi dualisme). Descartes, untuk mengambil kemungkinan contoh yang paling terken.

2.2.1 Adapun macam dari dualisme itu sendiri adalah :
a. Dualisme Sosial
Dikemukakan oleh profesor Boeke, yang mengatakan bahwa di dalam suatu masyarakat mungkin terdapat dua sistem sosial yang sangat berbeda. Kedua-duanya wujud secara berdampingan dimana yang satu tidak dapat sepenuhnya menguasai yang lainnya. Sistem sosial yang satu modern sedang yang lainnya tradisional. Sistem sosial yang lebih modern ini terutama berasal dari negara-negara barat.

b. Dualisme Teknologi
Dalam menelaah mengenai dualisme di negara berkembang dua ahli ekonomi yaitu Higgins dan Myint telah melakukan suatu studi tentang dualisme ini. Higgins menekankan kepada adanya dualisme di bidang teknologi. Yang dimasud dengan dualisme teknologi adalah suatu keadaan dimana di dalam sesuatu bidang kegiatan ekonomi tertentu digunakan teknik memproduksi dan organisasi produksi yang sangat berbeda sekali coraknya, dan mengakibatkan perbedaan yang besar sekali dalam tingkat produktivitas.

c. Dualisme Finansial
Sedang Myint lebih banyak menyoroti masalah lembaga keuangan di negara berkembang. Analisa Myint mengenai pasar yang yang melahirkan adanya dualisme finansiil. Pengertian itu dapat dijelaskan dalam dua golongan yaitu : a) adanya pasar uang yang memiliki organisasi yang sempurna (organized money market), b) adanya pasar uang yang tidak terorganisir sama sekali (unorganization money market).
Untuk pasar uang yang pertama meliputi Bank-bank komersiil dan Badan-badan keuangan lainnya. Hal ini terutama terdapat dikota-kota besar dan pusat-pusat perdagangan. Sedang pasar uang jenis yang kedua adalah bentuk pasar uang yang bukan berbentuk institusional terdiri dari tuan-tuan tanah, pedagang-pedagang perantara. Biasanya pasar uang jenis ini sangat menonjol untuk daerah pedesaan yang terkenal dengan renternir dan sistem ijon. Adanya kebutuhan yang mendesak akan uang mengakibatkan cara tersebut yang mudah dijangkau oleh masyarakat di pedesaan.
d. Dualisme Regional
Pada tahun 1960 an banyak orang mulai membicarakan mengenai masalah dualisme regional. Yang dimaksud dengan dualisme regional ini adalah ketidakseimbangan tingkat pembangunan di berbagai daerah dalam suatu negara. Akibat dari ketidakseimbangan dalam pembangunan mengakibatkan adanya jurang perbedaan tingkat kesejahteraan antar berbagai daerah dan selanjutnya menimbulkan masalah sosial dan politik. Sebagai contoh misal dualisme antara kota dengan desa, dualisme antara Pemerintahan Pusat dengan Pemerintahan Daerah.
Adanya berbagai macam tersebut jelas kurang menguntungkan bagi pembangunan, sebab akibat yang dapat ditimbulkan dapat berupa ada perbedaan yang menyolok antara golongan kaya dan miskin dimana perbedaan ini semakin lama semakin melebar dengan distribusi pembagian pemerataan pendapatan menjadi timpang. Di samping itu kemajuan di bidang teknologi juga akan memberikan pengaruh terhadap tingkat kesempatan kerja yang ada. Dualisme teknologi melahirkan akibat buruh terhadap lajunya pembangunan dan kaharmonisan proses pembangunan.

2.2.2  Faktor penghambat pembangunan dualisme
4 Unsur pokok Konsep Dualisme :
a. Dua keadaan yg berbeda : Superior dan inferior
b. Kenyataan hidup perbedaan bersifat kronis dan bukan transisional.
c. Derajat superioritas atau inferioritas terus meningkat
d. Keterkaitan antar unsur berpengaruh kecil.


1.Mengenai sumber hukum yang berbeda, kelemahan pendirian kaum dualis tidak dapat dilepaskan dari pada kelemahan teori dasar mereka bahwa sumber segala sumber hukum itu baik hukum internasional maupun hukum nasional adalah kemauan negara. Hukum itu berlaku dan ada karena negara.Hal yang sama berlaku pula bagi masyarakat internasional. Jadi adanya hukum dan daya ikat hukum tidak bersumber kepada kemauan negara, melainkan merupakan prasyarat bagi kehidupan manusia yang teratur dan beradab dan karenanya disebabkan oleh kebutuhan kehidupan manusia bermasyarakat yang hakiki yang tidak dapat dielakkan. Dengan demikian maka tidak tepat pula untuk berbicara berlainnya sumber dari pada hukum itu karena pada hakekatnya sumbernya adalah sama yakni kebutuhan manusia untuk hidup secara teratur.
2. Berlainnya subjek hukum dan pada hukum nasional dan hukum internasional juga kurang rnenyakinkan. Karena argumentasi kaum dualis ini dibantah oleh kenyataan bahwa di dalam satu lingkungan hukum, katakanlah hukum nasional pun dapat saja terjadi bahwa subjek hukum itu berlainan. Karenanya di dalan hukum nasional ada pembagian hukum antara hukum perdata dengan hukum publik. Sebaliknya tidak pula benar untuk mengatakan bahwa subjek hukum internasional adalah negara karena perkembangan akhir-akhir ini menunjukan bahwa individu atau orang-perorangan pun bisa menjadi subjek hukum internasional
            3. Berbedanva struktur hukum nasional dan hukum internasional juga kurang tepat, karena di sini letak perbedaan tidaklah bersumber pada perbedaan hakiki atau azasi (prinsipil) melainkan perbedaan yang gradual. Dengan perkataan lain apa yang dinamakan perbedaan strukturil itu hanya merupakan bentuk perwujudan atau gejala saja pada taraf integrasi yang berlainan dan pada masyarakat nasional dan masyarakat internasiona1.
4. Pemisahan mutlak antara hukum nasional dengan hukum internasional, tidak dapat menerangkan dengan cara memuaskan kenyataan bahwa dalam praktek sering kali hukum nasional itu tunduk pada atau sesuai dengan hukum internasional. Kenyataan bahwa ada kalanya hukum nasional yang berlaku bertentangan dengan hukum internasional, bukan merupakan bukti dari pada perbedaan strukturil seperti dikatakan kaum dualis, melainkan hanya bukti dan kurang efektifnya hukum internasional

2.3  DUALISME PENDIDIKAN
Sebelum menjelaskan bagaimana dualisme pendidikan yang berkembang di Indonesia, terlebih dahulu akan dijelaskan makna dari dualisme tersebut, sehingga dengan memberikan penjelasan makna dualisme tersebut diharapkan akan memberikan pemahaman yang utuh.
Di dalam kamus besar bahasa Indonesia dijelaskan bahwa dualisme adalah dua prinsip yang saling bertentangan . Selanjutnya secara terminologi dualisme dapat diartikan sebagai dua prinsip atau paham yang berbeda dan saling bertentangan. Selanjutnya kata dualisme sangat erat hubungannnya dengan kata dikotomi yang didefinisikan sebagai pembagian dua kelompok yang saling bertentangan, secara terminologi dikotomi dipahami sebagai pemisahan antara ilmu dan agama yang kemudian berkembang menjadi fenomena dikotomik-dikotomik lainnya, seperti dikotomi ulama dan intelektual, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam.

            2.3.1Penjelasan Dualisme Pendidikan,
Marwan Sarijo menyatakan bahwa istilah dualisme dan dikotomi memiliki makna yang sama yaitu pemisahan antara pendidikan umum dari pendidikan agama.
Dari penjelasan diatas jelaslah bahwa dualisme dan dikotomi yang terjadi pada pendidikan adalah adanya pemisahan sistem pendidikan antara pendidikan umum dan pendidikan agama, pemisahan antara ilmu umum dan ilmu agama, yang pada akhirnya melahirkan pemisahan antara sekolah umum dan sekolah agama (madrasah), antara mata pelajaran umum dan mata pelajaran agama, yang masing-masing dianggap saling bertentangan satu dengan yang lainnya.
Pada dasarnya dualisme yang terjadi di dalam sistem pendidikan Indonesia merupakan perjalanan panjang sistem pendidikan yang telah terjadi sebelum Indonesia meraih kemerdekaannya. Hal ini dapat ditelusuri dari sistem pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah Belanda pada saat penjajahan berlangsung.
Sekolah-sekolah yang didirikan oleh Belanda, seperti sekolah kelas satu yang dikhususkan untuk anak-anak kaum bangsawan, dengan lama belajarnya lima tahun, sekolah kelas dua yang dirancang untuk mempersiapkan pegawai-pegawai rendah bagi kantor pemerintahan dan perusahaan Belanda, sekolah desa (Volksschool) yang memiliki kurikulum kelas 1 : membaca dan menulis bahasa melayu dengan huruf latin, latihan bercakap, berhitung 1-20, kurikulum kelas 2 : lanjutan membaca dan menulis , kurikukul kelas 3 : ulangan, berhitung diatas 100 dan pecahan sederhana.
Selain sekolah-sekolah tersebut, terdapat juga sekolah-sekolah yang dibangun oleh Belanda yang dalam pelaksanaanya hanya memasukkan dan mementingkan mata pelajaran umum, seperti :

1. Europeesche Lagere School (ELS),yang kurikulumnya meliputi : mata pelajran memabaca, menulis, berhitung, bahasa Belanda, sejarah, ilmu bumi dan mata pelajaran lainnya.
2. Hollandsche Chineesche School (HCS), yang kurikulumnya sama seperti kurikulum ELS, Hollandsche Inlandsche School(HIS) yang merupakan sekolah yang diberikan kepada masyarakat elit Indonesia, yang kurikulum terpenting sekolah ini adalah bahasa Belanda.
3. Meer Unitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang merupakan sekolah lanjutan dari HIS, kurikulum sekolah ini menekankan kepada pengajaran bahasa Belanda, Prancis, Inggris, dan Jerman, dalam proses pembelajrannya setengah waktu digunakan untuk mempelajari bahasa, sepertiga untuk matematika dan ilmu pengetahuan alam dan seperenam untuk ilmu pengetahuan sosial
4. Hoogere Burger School (HBS), yang merupakan sekolah tingkat menengah, yang kurikulumnya sama seperti kurikulum HBS yang ada di Belanda.
5. Algeemene Middelbare School (AMS), sekolah yang merupakan menengah lanjutan dari MULO, yang dibagi kepada dua bagian yaitu bagian A : ilmu pengetahuan kebudayaan yang terdiri dari A1 bagian kesustraan timur dan A2 bagian klasik barat, dan bagian B : ilmu pengetahuan kealaman.
Dari gambaran pendidikan yang dilaksanakan di sekolah-sekolah tersebut, maka terlihat jelas bahwa Belanda melaksanakan sistem pendidikan yang diskriminatif, yang tidak hanya membatasi masyarakat Indonesia untuk mendapatkan pendidikan yang merata sebagai mobilitas kehidupan, namun juga melarang pengajaran agama di sekolah-sekolah tersebut yang hanya memberikan pengajaran ilmu-ilmu saja.
Mengenai larangan pelajaran agama untuk diajarkan di sekolah-sekolah tersebut Mulyanto Sumardi, sebagaimana yang dikutip oleh Haidar menjelaskan bahwa pemerintahan Belanda Memiliki sikap netral terhadap pendidikan agama di sekolah-sekolah, ini dinyatakan dalam pasal 179  IS (Indische Staatsregeling), dan dalam beberapa ordonasi, secara singkat dinyatakan sebagai berikut : pengajaran umum adalah netral, artinya bahwa pengajaran itu diberikan dengan menghormati keyakinan agama masing-masing, pengajaran agama hanya boleh berlaku di luar jam sekolah.
Dari penjelasan Mulyanto tersebut menggambarkan bahwa kebijakan pendidikan yang diselenggarakan oleh Belanda pada waktu itu merupakan pendidikan yang menekan terutama terhadap masyarakat islam, yaitu penekanan yang dilakukan pemerintahan Belanda dengan memberlakukan ordonansi guru.
Pemerintahan Belanda mengeluarkan ordonansi yang pertama pada tahun 1905, dimana ordonansi tersebut mewajibkan setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu, sebelum melaksanakan tugasnya sebagai guru agama. Sedangkan ordonansi yang kedua yang dikeluarkan pada tahun 1925, hanya mewajibkan guru agama untuk melaporkan diri. Kebijakan pendidikan Belanda yang memberlakukan ordonansi guru tersebut memberikan penekanan pada masyarakat muslim pada saat itu, hal ini dilakukan Belanda sebagai usaha untuk meredam perkembangan pemahaman agama Islam dan sepak terjang guru agama Islam yang memperluas pengembangan agama Islam melalui kegiatan pendidikan. Hal ini dilakukan pihak Belanda bukan tanpa alasan, melainkan kekhawatiran mereka jika pemahaman agama Islam berkembang maka ini akan dapat melahirkan sebuah gerakan sosial agama khususnya Islam yang menciptakan sikap sentimen anti penjajahan yang sekaligus mendorong sikap anti pemerintahan Belanda. Mengenai hal ini Nurhayati Djamas menjelaskan bahwa paranoid pemerintahan Belanda terhadap perkembangan Islam tentu saja sangat beralasan mengingat berbagai perlawanan yang muncul dari masyarakat Indonesia banyak dilatarbelakangi oleh hal-hal yang bersifat keagamaan, seperti perlawanan dari gerakan tarekat dalam peristiwa Cianjur, Cilegon, dan garut yang dianggap membahayakan bagi pemerintahan Belanda.
Pada saat masyarakat muslim Indonesia merasa tertekan dengan adanya kebijakan pemerintahan Belanda tersebut, maka didirikanlah sekolah-sekolah yang selain mengajarkan ilmu-ilmu umum juga mengajarkan agama. Sekolah-sekolah tersebut dipelopori oleh organasasi Islam yang ada pada saat itu, seperti organisasi Jami’at Khair yang mendirikan sekolah dasar pada tahun 1905, walaupun sekolah tersebut bukanlah sekolah agama namun selain mengajarkan pelajaran umum juga mengajarkan pelajaran agama. Dikalangan Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah, seperti MULO met de Qur’an.
Dengan adanya sekolah-sekolah yang didirikan oleh organisasi Islam pada saat itu yang tidak hanya memberikan pengajaran pelajaran-pelajaran umum saja melainkan juga mmberikan pengajaran pelajaran agama memberikan agin segar bagi sistem pendidikan Indonesia, setidaknya sekolah-sekolah tersebut merupakan cikal bakal lahirnya sekolah yang ingin keluar dari sistem dualisme pendidikan Belanda, walaupun diakui bahwa sekolah sekolah tersebut masih lebih banyak memberikan perhatiannya terhadap pelajaran umum dari pada pelajaran agama, namun terlepas dari hal itu, kita harus menyadari bahwa gebrakan yang dilakukan organisasi-organisasi Islam pada saat itu merupakan manuver yang luar biasa sehingga perlu diberikan apresiasi yang tinggi.
Memasuki masa kemerdekaan Indonesia, kelihatannya kebijakan pendidikan tidak lagi mendiskriminasi pendidikan agama (Islam), pada saat itu ada upaya mengakui pendidikan agama (Islam) sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional yang memiliki hak mendapatkan perhatian dari pemerintahan. Hal ini merupakan implementasi dari sila pertama Pancasila yang merupakan ideologi bangsa yang berbunyi ketuhanan yang maha Esa, untuk mengimplematasikan sila tersebut pemerintahan membentuk departemen agama pada tanggal 3 Januari 1946, yang memiliki tugas utamanya adalah mengurusi masalah kehidupan beragama bagi seluruh masyarakat Indonesia, salah satu diantaranya adalah masalah pendidikan agama. Ruang lingkup pendidikan agama yang dikelola oleh departemen agama ini tidak hanya terbatas pada sekolah-sekolah agama seperti pesantren dan madrasah, tetapi juga menyangkut sekolah-sekolah umum.
Selanjutnya Haidar mencatat upaya-upaya untuk melaksanakan pendidikan agama di sekolah umum telah dimulai sejak adanya rapat Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP), diantara usulan badan tersebut kepada kementrian pendidikan, pengajaran dan kebudayaan adalah termasuk masalah pengajaran agama madrsah dan pesantren. Mengenai hal ini Haidar juga memaparkan usul badan pekerja tersebut, sebagaimana yang ia kutip dari Soegarda Poerbakawatja sebagai berikut :
Pengaajran agama hendaknya mendapat tempat yang teratur seksama, hingga cukup mendapat perhatian yang semestinya, dengan tidak mengurangi kemerdekaan golongan-golongan yang berkehendak mengikuti kepercayaan yang dipilihnya. Tentang cara melakukan ini baiklah kementrian mengadakan perundingan dengan badan pekerja. Madrasah dan pesantren-pesantren yang pada hakikatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan penderdasan rakyat jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan yang nyata dengan berupa tuntunan dan bantuan dari pemerintahan.
Dari penjelasan ini memperlihatkan adanya fakta bahwa pemerintahan Indonesia ingin mengeluarkan pendidikan agama dari belenggu sistem dualisme pendidikan, walaupun usaha tersebut belum sepenuhnya memberikan harapan yang pasti terhadap pengahpusan dualisme pendidikan, sehingga perlu beberapa kebijakan pemerintah lainnya terhadap pendidikan yang selanjutnya kebijakan pemerintah tersebut dari tahun ke tahun hingga saat ini mengalami perubahan dan perbaikan untuk melepaskan diri dari belenggu dualisme pendidikan yang begitu mengental sebelum kemerdekaan.

2.4   INTEGRASI PENDIDIKAN AGAMA DAN UMUM
Pasca kemerdekaan Indonesia, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa pemerintahan memberikan peluang untuk menghilangkan dualisme pendidikan. Hal ini berarti bahwa keberadaan pendidikan agama mendapat dukungan dari pemerintahan dalam pelaksanaan di sekolah-sekolah. Dilain pihak sesungguhnya pendidikan agama di Indonesia sudah berlangsung cukup lama, hal ini digambarkan dengan sikap hidup masyarakat Indonesia yang begitu kental dengan kehidupan yang agamis, terlebih pendidikan Islam yang telah berlangsung sejak masuknya agama tersebut di Indonesia, walaupun pada mulanya pendidikan islam tidaklah berlangsung secara institusional atau sifatnya yang masih nonformal, namun dikemudian hari pendidikan Islam tersebut berkembang dengan tumbuhnya lembaga-lembaga formal pendidikan Islam seperti pesantren dan madrasah.
Pendidikan agama pada dasarnya bertujuan untuk memberikan pendidikan yang menumbuhkembangkan potensi akal, potensi hati (jiwa) dan juga potensi skill yang sesuai dengan tuntutan agama. Sehingga pendidikan agama tersebut haruslah diberikan pada kurikulum setiap sekolah. Usaha memasukkan kurikulum agama di dalam pendidikan sekolah pasca kemerdekaan dilaksanakan berkat usul Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BPKNIP) sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.













BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 KESIMPULAN
Dualisme adalah konsep filsafat yang menyatakan ada dua substansi. Dalam pandangan tentang hubungan antara jiwa dan raga, dualisme mengklaim bahwa fenomena mental adalah entitas non-fisik. Gagasan tentang dualisme jiwa dan raga berasal setidaknya sejak zaman Plato dan Aristoteles dan berhubungan dengan spekulasi tantang eksistensi jiwa yang terkait dengan kecerdasan dan kebijakan. Plato dan Aristoteles berpendapat, dengan alasan berbeda, bahwa "kecerdasan" seseorang (bagian dari budi atau jiwa) tidak bisa diidentifikasi atau dijelaskan dengan fisik.
Fonemena dulaisme keilmuan yang sekarang melanda umat Islam itu relative baru (kira-kira awal abad 19 M, ketika bangsa Islam mulai dijajah). Dulaisme lembaga pendidikan sekarang ini ada yang disebut sekolah umum dan ada diistilahkan sekolah agama, dimana terciptalah sarjana agama yang begitu pintar ilmu syariah, tapi tidak tahu menahu-tahu tentang ilmu umum. Begitu sebaliknya seorang profesor kimia, misalnya pintar sekali dibidangnya, tapi selalu mengatakan ,saya ini orang awam untuk urusan agama. Adanya pendidikan agama di sekolah-sekolah di Indonesia sudah tidak bisa dinafikan lagi, akan tetapi kenapa pada faktanya pendidikan di Indonesia mengalami keterpurukan baik dari sisi output pendidikan yang masih rendah bila dibandingkan negara-negara yang baru merdeka seperti Vietnam. Begitupula tentang kenakalan remaja yang terjerumus ke dalam korban narkoba semakin meningkat dari tahun ke tahun, serta tindakan korupsi yang sudah mengakar di negeri ini. Kondisi ini tidak mungkin dibiarkan berlarut-larut paling tidak ada peningkatan kualitas pendidikan dan penyelewengan pendidikan dapat diminimalisir.
3.2.  PENUTUP
         “  Sesungguhnya kami hanyalah Muballigh (orang yang menyampaiakan ilmu Allah S.W.T) dan Allah sajalah yang berkuasa untuk memberikan petunjuk”.Semoga kita tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang tersesat. Mohonlah selalu akan petunjuk Alloh “ihdinasshirotol mustaqiim”.  Mohon maaf atas segala kekurangan .







DAFTAR PUSTAKA
http://www.sejarah dualisme.com/2012/12/makalah-dualisme-pendidikan.html



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar